Kamis, 25 April 2013

Seperti malam-malam sebelumnya kebiasaan kami tidak pernah berubah terutama setelah shalat maghrib berlalu. Kami yang masih kanak-kanak dengan 4 bersaudara mulai duduk bersila melingkari kakek yang duduk diatas kursi rotannya. Satu-persatu kami diabsen terlebih dahulu (bahasa sekarang), setelah kakek rasa sudah berkumpul semua maka Ia akan memulai ceritanya.
Aku yang masih berumur 5 tahun selalu menjadi cucu kesayangan kakek, dalam pangkuannya yang hangat, kusempatkan mataku menatap wajahnya perlahan-lahan dan memasukkannya dalam memory ingatan, Wajahnya  yang keriput, dan rambutnya yang semakin memutih. Seraya  mengamati cerita-ceritanya dirumah yang gelap tanpa listrik, yang ada hanya lampu dengan sumbu kain didalam botol berisi minyak tanah (teplok),   
            Sebelum kakek memulai ceritanya, Ia selalu bertanya terlebih dahulu cerita-cerita apa yang akan disampaikan kakek, agar kami tidak bosan dengan cerita-cerita yang hanya itu-itu saja. Suatu ketika kakek pernah bercerita dimasa kecilnya dulu pada saat zaman penjajahan belanda, disaat perang bergejolak mereka harus masuk dalam lubang didalam rumah yang mereka gali sendiri agar tidak tertangkap oleh belanda, pakaian yang mereka pakaipun hanya terbuat dari kulit kayu, yang sudah dilayukan, dengan makanan yang serba seadany yaitu ubi mentah yang dimasukkan dalam lubang tersebut. Cerita itu tak luput dari ingatanku, bagaimana bangsa kita dijajah dahulu.
            Seminggu telah berlalu kakek mulai pulih dari sakitnya, sudah seminggu kami tidak lagi mendengar cerita-ceritanya kami hanya bisa melihat kakek terkapar diatas tikar usangnya sambil menunggu kapan Ia akan pulih dan mulai bercerita tentang segalanya.
            Dimalam jum’at yang indah dipenuhi dengan cahaya rembulan yang terang, kakek mulai memulai cerita kembali, namun ada perubahan dalam dirinya. Kini kakek tidak lagi cerita tentang dunia, namun Ia bercerita tentang akhirat, dan hari kiamat, Aku yang tidak mengerti tentang hal-hal tersebut, tetap setia bagaimana biasanya. Namun  kerena rasa rinduku akan suaranya, aku tetap mengamatinya dan mendengar cerita-ceritanya.
            Suatu malam, ketika selesai shalat maghrib, kakek mengumpulkan kami, beserta nenek, malam itu hujan lebat, angin kencang, suara petir dengan cahayanya melintang dan berakar bagai memecah langit yang gelap,  semuanya sunyi, tetapi rembulan didapan kami masih saja terang, dan bersinar bahkan cahayanya tak pernah redup. Satu persatu kami mulai dipanggil “Ridho (kakak tertua), kamu adalah anak laki-laki kamu harus bisa menjaga adik-adikmu,”.         
“aisya, kamu adalah anak perempuan dan kamu harus bisa membersihkan rumah,”. Begitu juga dengan kakak ketiga ku.
 Dengan perlahan kakek menatapku, tanpa tersadar airmatanya mulai menetes. Dengan polosnya aku bertanya kenapa kakek menangis?, siapa yang memarahi kakek?, nanti aku yang marahi dia lagi!, pertanyaan yang tak seharusnya terucap olehku namun Ia hanya tersenyum, sambil mengelus kepalaku.
 kakek hanya berkata “jagan nakal khadijah, jadilah anak yang baik dan penurut membawa cahaya kedamaian seperti namamu yang amat dicintai Rasulullah SAW”, semuanya diam dan hening yang terdengar hanya suara hujan dan petir membawa ketakutan dalam hati. kami hanya dapat menunduk, bertanya-tanya dalam hati, apa yang terjadi, begitu juga nenek yang diam bagai patung tanpa kata, namun bagiku semua itu hanyalah sebuah ucapan, tanpa ada maknanya.  
             shalat shubuh, dengan biasa kakek membangunkan kami untuk shalat berjamaah. Aku yang masih kecil hanya ikut-ikutan mnegikuti gerakan mereka, ku tatap kakek lama terdiam dalam duduknya kemuadian Dia beranjak menatap kearah kiblat,  setelahnya kakek mandi, dan mulai tidur diatas tikar usangnya, kebiasaan itu agak berbeda bagiku, tidak biasanya kakek demikian.
 Rumah kecil kami mulai ramai, ramain dengan orang-orang yang sibuk kesana-kemari dengan suara tangisan yang tidak hentinya, kudapati nenek dan kakak-kakakku menangis memeluk tubuh kakek, tanpa tersadar Aku ikut juga dengan mereka. Banyak pertanyaan yang berkecamuk dihatiku (mengapa, kenapa), lama kelamaan aku mulai mengerti rembulanku sudah redup dan pergi, kini yang terlihat hanya bayangannya saja dalam ingatan, dan namanya,
 Dialah sosok ayah yang kukenal, dan sosok kakek yang amat ku cintai, Dialah orang tua kami, setelah kedua orang tua kami pergi manghadap sang Ilahi Robbi. Kini kusadari rembulan yang kubanggakan telah redup. Namun tetap terang dalam hatiku. 

0 komentar:

Posting Komentar