Seperti
malam-malam sebelumnya kebiasaan kami tidak pernah berubah terutama setelah
shalat maghrib berlalu. Kami yang masih kanak-kanak dengan 4 bersaudara mulai
duduk bersila melingkari kakek yang duduk diatas kursi rotannya. Satu-persatu
kami diabsen terlebih dahulu (bahasa sekarang), setelah kakek rasa sudah
berkumpul semua maka Ia akan memulai ceritanya.
Aku yang
masih berumur 5 tahun selalu menjadi cucu kesayangan kakek, dalam pangkuannya
yang hangat, kusempatkan mataku menatap wajahnya perlahan-lahan dan
memasukkannya dalam memory ingatan, Wajahnya
yang keriput, dan rambutnya yang semakin memutih. Seraya mengamati cerita-ceritanya dirumah yang gelap
tanpa listrik, yang ada hanya lampu dengan sumbu kain didalam botol berisi
minyak tanah (teplok),
Sebelum kakek
memulai ceritanya, Ia selalu bertanya terlebih dahulu cerita-cerita apa yang
akan disampaikan kakek, agar kami tidak bosan dengan cerita-cerita yang hanya
itu-itu saja. Suatu ketika kakek pernah bercerita dimasa kecilnya dulu pada
saat zaman penjajahan belanda, disaat perang bergejolak mereka harus masuk
dalam lubang didalam rumah yang mereka gali sendiri agar tidak tertangkap oleh
belanda, pakaian yang mereka pakaipun hanya terbuat dari kulit kayu, yang sudah
dilayukan, dengan makanan yang serba seadany yaitu ubi mentah yang dimasukkan
dalam lubang tersebut. Cerita itu tak luput dari ingatanku, bagaimana bangsa
kita dijajah dahulu.
Seminggu telah berlalu kakek mulai
pulih dari sakitnya, sudah seminggu kami tidak lagi mendengar cerita-ceritanya
kami hanya bisa melihat kakek terkapar diatas tikar usangnya sambil menunggu
kapan Ia akan pulih dan mulai bercerita tentang segalanya.
Dimalam jum’at yang indah dipenuhi
dengan cahaya rembulan yang terang, kakek mulai memulai cerita kembali, namun
ada perubahan dalam dirinya. Kini kakek tidak lagi cerita tentang dunia, namun
Ia bercerita tentang akhirat, dan hari kiamat, Aku yang tidak mengerti tentang
hal-hal tersebut, tetap setia bagaimana biasanya. Namun kerena rasa rinduku akan suaranya, aku tetap
mengamatinya dan mendengar cerita-ceritanya.
Suatu malam, ketika selesai shalat
maghrib, kakek mengumpulkan kami, beserta nenek, malam itu hujan lebat, angin kencang,
suara petir dengan cahayanya melintang dan berakar bagai memecah langit yang
gelap, semuanya sunyi, tetapi rembulan
didapan kami masih saja terang, dan bersinar bahkan cahayanya tak pernah redup.
Satu persatu kami mulai dipanggil “Ridho (kakak tertua), kamu adalah anak
laki-laki kamu harus bisa menjaga adik-adikmu,”.
“aisya, kamu adalah anak perempuan dan kamu harus bisa membersihkan rumah,”.
Begitu juga dengan kakak ketiga ku.
Dengan perlahan kakek menatapku, tanpa
tersadar airmatanya mulai menetes. Dengan polosnya aku bertanya kenapa kakek
menangis?, siapa yang memarahi kakek?, nanti aku yang marahi dia lagi!,
pertanyaan yang tak seharusnya terucap olehku namun Ia hanya tersenyum, sambil
mengelus kepalaku.
kakek hanya berkata “jagan nakal khadijah,
jadilah anak yang baik dan penurut membawa cahaya kedamaian seperti namamu yang
amat dicintai Rasulullah SAW”, semuanya diam dan hening yang terdengar hanya
suara hujan dan petir membawa ketakutan dalam hati. kami hanya dapat menunduk,
bertanya-tanya dalam hati, apa yang terjadi, begitu juga nenek yang diam bagai
patung tanpa kata, namun bagiku semua itu hanyalah sebuah ucapan, tanpa ada
maknanya.
shalat shubuh, dengan biasa kakek membangunkan
kami untuk shalat berjamaah. Aku yang masih kecil hanya ikut-ikutan mnegikuti
gerakan mereka, ku tatap kakek lama terdiam dalam duduknya kemuadian Dia
beranjak menatap kearah kiblat, setelahnya kakek mandi, dan mulai tidur diatas
tikar usangnya, kebiasaan itu agak berbeda bagiku, tidak biasanya kakek
demikian.
Rumah kecil kami mulai ramai, ramain dengan
orang-orang yang sibuk kesana-kemari dengan suara tangisan yang tidak hentinya,
kudapati nenek dan kakak-kakakku menangis memeluk tubuh kakek, tanpa tersadar
Aku ikut juga dengan mereka. Banyak pertanyaan yang berkecamuk dihatiku
(mengapa, kenapa), lama kelamaan aku mulai mengerti rembulanku sudah redup dan
pergi, kini yang terlihat hanya bayangannya saja dalam ingatan, dan namanya,
Dialah sosok ayah yang kukenal, dan sosok
kakek yang amat ku cintai, Dialah orang tua kami, setelah kedua orang tua kami
pergi manghadap sang Ilahi Robbi. Kini kusadari rembulan yang kubanggakan telah
redup. Namun tetap terang dalam hatiku.